Siapa yang bilang rumah di Jogja itu menyenangkan? Terutama jika jarak tempuh kampus ke rumah merupakan jarak yang ‘tanggung’. Tidak dekat tapi juga rasanya terlalu sayang jika harus menganggarkan biaya untuk mengontrak atau kos. Rumah di Jogja itu seperti pisau bermata dua. Di satu sisi ada begitu banyak hal menyenangkan dan keuntungan yang didapat karena tinggal di rumah. Namun di waktu yang bersamaan ada banyak tuntutan dan juga ‘etika’ yang harus dipenuhi. Dan bukan perkara mudah untuk ‘melegakan’ permintaaan dari rumah. Seringkali akhirnya terjadi perang batin yang menguras fikiran dan tenaga. mungkin memang terdengar berlebihan tapi begitulah kenyataannya.
Siapa yang menyangkal jika setiap kali makan bisa pulang dan menghemat uang saku adalah sesuatu yang menyenangkan? Kurasa semua pasti setuju. Lalu jika jarak tempuh untuk pulang ke rumah bukan waktu yang singkat bagaimana? Apa yang tidak menyenangkan dari bisa tidur di kamar milik sendiri di tempat yang notabene adalah tempat paling nyaman untuk istirahat? Kemudian bagaimana jika ketika pulang ke rumah ternyata malam sudah kian larut dan badan rasanya sudah berteriak minta istirahat sedang masih ada jarak dan waktu yang harus dilewati untuk sampai rumah? Manalah hal yang tidak menyenangkan jika ketika ingin makan selalu ada makanan yang tersedia? Apa yang tidak enak dari memiliki banyak saudara yang bisa dimintai bantuan ketika tugas yang begitu banyak datang? Apa yang tidak enak dari selalu dapat berdekatan dengan kedua orang tua sedang yang lain harus merantau jauh?
Semua fasilitas yang diperoleh ketika tinggal di rumah sebenarnya harus dibayar mahal. Ada banyak hal yang kemudian harus diperhatikan. Ada hak-hak keluarga yang kemudian harus ditunaikan. Ada kewajiban kepada masyarakat yang sepantasnya dijalankan. Ada perhatian, waktu, dan pikiran yang kemudian harus diberikan kepada mereka. Lebih kecil ruang egois untuk diri sendiri. Karena selayaknya inilah dunia nyata. Inilah kehidupan bermasyarakat.
Betapa sedih ketika sampai detik ini rasanya belum bisa adil dalam menunaikan hak-hak mereka. Terenyuh rasanya ketika ditanya, “mbak, kapan di rumah? kapan bisa bantuin yang di rumah? kok pulangnya malam terus?” Penyesalan sering menghantui ketika kemudian ketika kekecewaan terucap, “Takkira kamu mau pulang mbak. Aku mau tanya matematika” Sungguh tidak ada niatan sama sekali untuk mengabaikan yang di rumah. Karena bagaimanapun merekalah orang terdekat kemana aku akan mencari pertama kali jika terjadi sesuatu. SIlakan, silakan sampaikan jika kalian memang membutuhkanku, sampaikan jika kalian ingin aku membantu. Akankah aku menjawab tidak jika ditanya “mbak, besok bisa bantuin umi? “ Percayalah aku akan mengusahakan semaksimal yang aku bisa.
Mungkin salahku karena belum sanggup mengatur waktu dengan baik ketika kemudian tidak bisa menyelesaikan tugas-tugas rumah sebelum berangkat ke kampus. Bahkan sekedar menyapu dan cuci piring seringkali terlewat. Mungkin memang aku harus menjadi kakak yang lebih baik dan perhatian sehingga tahu kapan kalian membutuhkanku. Seharusnya aku bisa membantu kalian bahkan tanpa kalian harus memintanya. Mungkin aku masih harus lebih pandai lagi mengatur jadwal sehingga kewajibanku untuk member manfa’at untuk masyarakat tidak hilang. Agar bisa lagi menghadiri rapat rutin remaja masjid setiap malam kamis yang hanya dua pecan sekali itu. Juga bisa kembali mengajar adik-adik penuh semangat di TPA.
Siapa yang bilang tinggal di rumah bisa bermanja-manja? Siapa yang bilang tinggal di rumah bisa seenaknya? Siapa yang bilang tinggal di rumah bisa berbuat dan meminta kepada orang tua sesuka hati? Siapa bilang tinggal di rumah lalu bisa pergi dan pulang ke rumah semaunya?
Ketika tinggal di rumah, justru di sanalah real kehidupan. Tinggal di rumah berarti menjadi bagian dari masyarakat. Ada norma-norma yang kemudian tidak bisa diabaikan. Pulang malam apalagi bagi seorang perempuan tentunya bukanlah hal yang bijak. Tidak pernah muncul dalam kegiatan yang ada di masyarakat juga bukan hal yang wajar. Mengabaikan hak-hak keluarga yang setiap hari bertemu juga bukanlah hal yang baik. Banyak, masih begitu banyak hal yang harus diperbaiki lagi dariku.
Sejuta maaf tak akan sanggup mengganti hati-hati yang sempat terluka karena sikapku. Namun, ijinkan aku meminta segenggam maaf dari kalian bersama janji dariku untuk berusaha menjadi lebih baik lagi. Semoga pada akhirnya aku dapat seutuhnya menjadi bagian dari masyarakat, menjadi anak juga kakak yang baik dan dapat dibanggakan.
Laa yukallifullohu nafsan illa wus’ahaa. Tiadalah beban itu diberikan kecuali dia mampu menanggungnya. Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbii ‘ala tho’atik, tsabbit qolbii a’la diinik. Semoga niat ini senantiasa terjaga hanya untuk mendapat ridhoMu Ya Alloh…